Saturday, May 2, 2009

Digital Cinematography


Digital cinematography is the process of capturing motion pictures as digital images, rather than on film. Digital capture may occur on tape, hard disks, flash memory, or other media which can record digital data. As digital technology has improved, this practice has become increasingly common. Many mainstream Hollywood movies now are shot partly or fully digitally. Many vendors have brought products to market, including traditional film camera vendors like Arri and Panavision, new vendors like RED and Silicon Imaging, and companies which have traditionally focused on consumer and broadcast video equipment, like Sony and Panasonic. The benefits and drawbacks of digital vs. film acquisition are still debated, but digital cinematography cameras sales have surpassed mechanical cameras in the classic 35 mm format,[citation needed] and the Academy Award for Best Cinematography was awarded to a movie shot mainly digital in 2009.[1]

History
Beginning in the late 1980s, Sony began marketing the concept of "electronic cinematography", utilizing its analog HDTV cameras. The effort was met with very little success. In 1998, with the introduction of HDCAM recorders and 1920 × 1080 pixel digital video cameras based on CCD technology, the idea, now re-branded as "digital cinematography", finally began to gain traction in the market.

In May 2002 Star Wars Episode II: Attack of the Clones became the first high-profile, high-budget movie released that was shot on 24 frame-per-second high-definition digital video, using a Sony HDW-F900 camera. The lesser-known 2001 movie Vidocq was shot with the same camera.

In parallel with these developments in the world of traditional high-budget cinematography, a digital cinema revolution was occurring from the bottom up, among low budget filmmakers outside of the Hollywood system. Beginning in the mid-1990s, with the introduction of Sony's DCR-VX1000, the digital MiniDV format began to emerge. MiniDV offered much greater quality than the analog formats that preceded it, at the same price point. While its quality was not considered as good as film, these MiniDV camcorders, in conjunction with non-linear editing software that could run on personal computers, allowed a large number of people to begin making movies who were previously prevented from doing so by the high costs involved with shooting on film.

Today, cameras from companies like Sony, Panasonic, JVC and Canon offer a variety of choices for shooting high-definition video with less than $10,000 worth of camera equipment. At the high-end of the market, there has been an emergence of cameras aimed specifically at the digital cinema market. These cameras from Arri, Panavision, Grass Valley and Red offer resolution and dynamic range that exceeds that of traditional video cameras, which are designed for the limited resolution and dynamic range of broadcast television.

Technology
Digital cinematography captures motion pictures digitally, in a process analogous to digital photography. While there is no clear technical distinction that separates the images captured in digital cinematography from video, the term "digital cinematography" is usually applied only in cases where digital acquisition is substituted for film acquisition, such as when shooting a feature film. The term is not generally applied when digital acquisition is substituted for analog video acquisition, as with live broadcast television programs.

[edit] Sensors

Digital cinematography cameras capture images using CMOS or CCD sensors, usually in one of two arrangements.

High-end cameras designed specifically for the digital cinematography market often use a single sensor (much like digital photo cameras), with dimensions similar in size to a 35 mm film frame or even (as with the Vision 65) a 65 mm film frame. An image can be projected onto a single large sensor exactly the same way it can be projected onto a film frame, so cameras with this design can be made with PL, PV and similar mounts, in order to use the wide range of existing high-end cinematography lenses available. Their large sensors also let these cameras achieve the same shallow depth of field as 35 or 65 mm motion picture film cameras, which is important because many cinematographers consider selective focus an essential visual tool.

Television cameras typically use three 1/3" or 2/3" sensors in conjunction with a prism, with each sensor capturing a different color. Camera vendors like Sony and Panasonic, which have their roots in the broadcast and consumer camera markets, have leveraged their experience with these designs into three-chip products targeted specifically at the digital cinematography market. The Thomson Viper also uses a three-chip design. These designs offer benefits in terms of color reproduction, but are incompatible with traditional cinematography lenses (though new lines of high-end lenses have been developed with these cameras in mind), and incapable of achieving 35 mm depth of field unless used with depth-of-field adaptors, which can lower image sharpness and result in a loss of light.

[edit] Acquisition Formats

As far as digital cinematography is concerned, video resolution standards depend first on the frames' aspect ratio in the film stock (which is usually scanned for digital intermediate post-production) and then on the actual points' count. Although there is not a unique set of standardized sizes, it is common place within motion picture industry to refer to "nK" image "quality", where n is a (small, usually even) integer number which translates into a set of actual resolutions, depending on the film format. As a reference consider that, for a 4:3 (around 1.33) aspect ratio which a film frame (no matter what is its format) is expected to horizontally fit in, n is the multiplier of 1024 such that the horizontal resolution is exactly 1024n points. For example, 2K reference resolution is 2048×1536 pixels, whereas 4K reference resolution is 4096×3072 pixels. Nevertheless, 2K may also refer to resolutions like 2048×1556, 2048×1080 or 2048×858 pixels, whereas 4K may also refer to 4096×3112, 3996×2160 or 4096×2048 pixels.

The DCI standard for cinema defines 4K with 4096*2048 and 2K with 2048*1024.

Commercial cameras marketed as digital cinematography cameras typically shoot in progressive HDTV formats such as 1080p, 2K and 4K.

Friday, May 1, 2009

14 Langkah membuat Film sendiri


Akhir-akhir ini, banyak yang memprotes para produsen sinetron Indonesia yang dianggap telah kehilangan daya kreatif sehingga akhirnya menyadur film yang diproduksi orang luar. Tapi, sebenarnya, bagaimana sih cara membuat film itu? Posting ini bukan sebuah pembelaan, dan bukan pula sebuah hujatan baru

14 langkah membuat film sendiri...

Akhir-akhir ini, banyak yang memprotes para produsen sinetron Indonesia yang dianggap telah kehilangan daya kreatif sehingga akhirnya menyadur film yang diproduksi orang luar. Tapi, sebenarnya, bagaimana sih cara membuat film itu? Posting ini bukan sebuah pembelaan, dan bukan pula sebuah hujatan baru. Hanya ingin menunjukkan... Begini lho, caranya membuat film. Hitung-hitung, sebagai materi tambahan buat anak-anak saya di sekolah...
Pada dasarnya, membuat film itu dapat dibagi ke dalam 14 tahapan. Apa saja?

1. IDE
Idealnya, IDE ini harus unik dan original. Tapi, memutuskan untuk menyadur sebuah karya orang lain itu juga termasuk sebuah IDE lho... Untuk mencari IDE, banyak cara yang bisa dilakukan. Melakukan pengamatan terus-menerus, jalan-jalan ke tempat yang aneh dan belum pernah didatangi manusia, nangkring di pohon asem di pinggir jalan sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang, atau bahkan duduk santai di sebuah food court di suatu plaza atau mall. Melamun sendirian di dalam kamar juga bisa mendatangkan ide, kok...

2. Sasaran
Setelah mendapatkan IDE, tentukan sasaran dari film yang akan dibuat. Koleksi pribadi? Murid SMU? Komunitas S&M? Para Otaku? Para Blogger? Siapa yang akan menonton film itu nantinya? Itu juga harus ditentukan dengan jelas di awal. Jangan sampai terjadi, film tersebut ditujukan untuk anak SMU tapi karena tidak disosialisasikan dengan jelas, akhirnya dipenuhi adegan berantem penuh darah ala 300

3. Tujuan
IDE dan Sasaran sudah ditetapkan. Yang harus dipastikan selanjutnya adalah tujuan pembuatan film. Ingin menggugah nasionalisme seperti Naga Bonar? Ingin menyampaikan pesan terakhir sebelum nge-bom? Ingin mendapatkan kepuasan pribadi seperti pembuatan film Passion of the Christ? Apa?

4. Pokok Materi
Berikutnya adalah menyusun pokok materi. Apa sih pesan yang ingin disampaikan? Ungkapan cinta? Sekedar pesan mengingatkan bahaya merokok?

5. Sinopsis
Sinopsis adalah ringkasan yang menggambarkan cerita secara garis besar. Semacam ide awal gitu loh. Dari sinopsis ini, nantinya bisa dikembangkan menjadi cerita yang lebih detil.

6. Treatment
Tahapan ini adalah penggambaran adegan-adegan yang nantinya akan muncul dalam cerita. Tidak mendetil. Contoh treatment itu seperti ini...
Ada seorang perokok yang sedang merokok dengan santainya. Kemudian tiba-tiba dia batuk-batuk dengan hebat dan agak lama. Sebelum beranjak pergi, orang itu membuang rokoknya sembarangan. Tiba-tiba muncul api...

7. Naskah
Naskah adalah bentuk mendetil dari cerita. Dilengkapi dengan berbagai penjelasan yang mendukung cerita (seting environment, background music, ekspresi, semuanya...). Contoh naskah itu, seperti ini...
FS. Ali mengayuh becak. Ais duduk merenung, tidak mempedulikan Ali yang bolak-balik menatapnya.
Ali : Dak usah dipikir lah, Mbak...
Ais : (kaget) Heh? Apa, Bang?

8. Pengkajian
Pengkajian disini, adalah yang dilakukan oleh seorang ahli isi (content) atau ahli media. Yang dikaji, adalah apakah naskahnya sudah sesuai dengan tujuan semula? Dan hal-hal yang mirip seperti itu...

9. Produksi Prototipe
Proses ini dibagi jadi 3 sub-tahap, yaitu pra-produksi (penjabaran naskah, casting pemain, pengumpulan perlengkapan, penentuan dan pembuatan set, penentuan shot yang baik, pembuatan story board, pembuatan rancangan anggaran, serta penyusunan kerabat kerja), produksi (pengambilan gambar sesuai dengan naskah dan improvisasi sutradara), purna-produksi (intinya adalah editing).

10. Uji coba
Uji coba ini dilakukan dengan memutar prototipe di hadapan sekelompok kecil orang. Kalau produsen film besar, biasanya melakukan ini di hadapan para kritikus. Tujuannya adalah untuk mengetahui respon dari calon audiens.

11. Revisi
Setelah ada respon, maka dilakukan perubahan jika diperlukan. Karena itu lah, banyak film yang memiliki deleted scenes. Itu diakibatkan proses uji coba dan revisi ini.

12. Preview
Preview itu adalah pemutaran perdana, di hadapan para ahli isi, ahli media, sutradara, produser, penulis naskah, editor, dan semua kru yang terlibat dalam produksi. Tujuan dari preview ini adalah untuk memastikan apakah semuanya berjalan lancar sesuai rencana atau ada penyimpangan. Bisa dikatakan, bahwa preview ini adalah proses pemeriksaan terakhir sebelum sebuah film diluncurkan secara resmi.

13. Pembuatan Bahan Penyerta
Bahan Penyerta itu adalah poster iklan, trailer, teaser, buku manual (jika film yang dibuat adalah sebuah film tutorial), dan lain sebagainya yang mungkin dibutuhkan untuk mensukseskan film ini.

14. Penggandaan
Tahap terakhir adalah penggandaan untuk arsip dan untuk didistribusikan oleh para Joni (ini terjadi pada jaman dulu kala, waktu format film digital masih ada di angan-angan).

Nah, demikian lah proses produksi sebuah film. Dari awal sampai akhir, siap untuk didistribusikan. Jadi, apa lagi yang ditunggu? Mari kita produksi film-film berkualitas agar tidak dikatakan bahwa sineas Indonesia telah kehilangan kreatifitas dan tidak bisa memproduksi karya orisinil lagi. SEMANGAT!!!

Mengabadikan Video Dokumentasi


Pembuatan Video dokumentasi dapat dilakukan siapa saja, bahkan oleh seorang bocah sekalipun. Perekaman yang dilakukan oleh seorang anak bocah telah menggambarkan suatu kejadian nyata saat itu dan menjadi saksi mata sampai kapan pun.

Pertanyaannya adalah apakah yang didokumentasikan bocah itu memiliki nilai bahkan nilai lebih dan mengesankan? Untuk itu ada beberapa hal yang perlu ditinjau dan diperhatikan. Sebelumnya kita bicara sedikit ttg konsep dokumenter.

Dalam pembuatan konsep video dokumentasi tidak kalah pentingnya dari konsep cerita. Mulai dari mendramatisasi alur cerita, berusaha menceritakannya dengan kuat, kadang- kadang alur cerita yang memiliki awal, tengah dan akhir dengan kejutan- kejutan dalam cerita, peningkatan ketegangan dan juga alur/penuturan yang berliku-liku (penuh dgn hambatan) yang membuat penonton untuk tetap fokus dan terbawa dalam suasana cerita/ alur.

Ada sebuah pakem untuk saat ini dimana dalam "Dokumenter film" si pembuat tidak dapat mengembangkan karakter dan alur cerita (merekayasa alur cerita). Walaupun ada, itu hanya sebagai pelengkap dan tidak melebihi dari intervensi karakter. Contoh : menggambarkan suasana desa seorang perampok yang dicintai masyarakatnya (merampok untuk dibagi- bagikan hasil rampokannya pada orang miskin). Scene awal dibuka dengan shot- shot established desa dan rumah si perampok dengan anak-anak yang bermain di depan rumahnya dengan riang gembira (anak-anak direkayasa diadakan mask dalam frame untuk bermain). Disana diceritakan bahwa desa tersebut tidak ada masalah dengan si orang ini (perampok).

Bagaimana dengan video dokumentasi Event? Tidak ada bedanya. Video dokumentasi event juga perlu kita treatment agar mendapatkan kesan dan dokumentasi yang padat, memiliki added value sehingga penonton tetap fokus dan menikmati tontonan tsb.Membuat sebuah video dokumentasi tidaklah sulit.

Kita mencoba belajar untuk memahami apa yang harus dilakukan dalam proses pengambilan gambar maupun proses editing. Pembuat video dokumentasi amatir bukanlah seorang pemula. Perbedaannya adalah pembuat video dokumentasi amatir mengindahkan kaidah-kaidah konsep pembuatan video dokumentasi yang baik. Pembuat video dokumentasi pemula, bisa jadi hasilnya amatiran tapi juga bisa terlihat professional. Buat kita bila gambar yang dihasilkan dapat dinikmati dengan enak (teknik ambil gambar), kontennya bisa dinikmati (konsep dokumentasi), berkesan (add value, keterlibatan secara emosional), video dokuemntasi tersebut memiliki nilai lebih buat kita atau klien kita.

Selamat membuat video dokumentasi yang penuh kesan.

Diambil dari http://rumahvideo.com/
http://kitproindonesia.com/